Tonggak – Tonggak Sejarah Paroki Ungaran
Awal Kekatolikan
Awal kekatolikan di Ungaran tidak lepas dari kehadiran warga keturunan Indo dan Tionghoa di daerah Ungaran. Mereka merupakan pengelola perkebunan di lereng dan lembah gunung Ungaran. Waktu itu, Ungaran terkenal dengan perkebunan pala dan kopi yang subur. Daerah yang paling subur terletak di Sibligo Ungaran Barat. Selain pekerjaan yang menuntut perhatian semakin besar, udara yang sejuk mendorong mereka membangun rumah di Ungaran sebagai tempat tinggal. Jejaknya dapat dilihat lewat peninggalannya berupa gedung-gedung, misalnya Gedung Kuning atau Benteng Willem II. Benteng Willem II ini pernah menjadi tempat untuk menahan Pangeran Diponegoro. Di Sibligo juga masih terdapat bangunan Belanda bekas tempat tinggal.
Beberapa dari orang Indo dan Tionghoa itu, ada yang beragama katolik. Mereka menjadi orang-orang Katolik pertama di Ungaran. Penduduk pribumi asli Ungaran yang katolik dapat dikatakan hampir tidak ada. Penduduk pribumi yang menjadi katolik pada umumnya adalah pendatang yang kemudian minta dipermandikan. Penduduk pribumi ini datang ke Ungaran untuk bekerja di perkebunan atau menjadi penjaga vila. Sebagai orang Katolik, baik Indo, Tionghoa maupun pribumi, mereka cukup aktif dalam kegiatan paguyuban murid-murid Kristus. Mereka aktif mengadakan pertemuan-pertemuan untuk berdoa atau mengembangkan imannya. Rama-Rama yang mendampingi mereka berasal dari Ambarawa.
Salah satu perintis kekatolikan di Ungaran yang tidak dapat dilupakan adalah Mecrow de Jong. Menurut banyak kesaksian, Mecrow de Jong amat berjasa bagi perkembangan gereja Ungaran. Ia membangun rumah doa di pekarangannya sendiri agar umat katolik dapat berkumpul untuk merayakan misteri kudus Gereja, mengadakan pendalaman iman, atau pertemuan-pertemuan yang lain. Rumah doa ini menjadi pengikat paguyuban mereka. Lokasi rumah doa ini berada di lokasi gereja yang sekarang. Dahulu daerah di sekitar gereja masih sangat sepi dan jalannya sempit.
Dalam perjalanan waktu, jumlah umat semakin bertambah. Perkembangan ini membawa konsekuensi perlunya tempat ibadah yang memadai. Dalam proses mencari lokasi tempat ibadah, Mecrow de Jong menyerahkan rumah doa berserta tanahnya kepada Gereja lewat Rama Th. C. Verhoeven SJ agar dipakai untuk gereja. Suatu anugerah yang luar biasa. Pembangunan gereja pun segera dimulai. Peletakan batu pertama dilaksanakan oleh Rama J. Van Rijkevorsel SJ, pastor Paroki Ambarawa, pada tanggal 22 Januari 1933. Pembangunan gereja ini dapat dikatakan amat bernilai monumental sebab pembangunan ini merupakan tonggak sejarah bertumbuhnya Paroki Ungaran secara nyata. Pembangunan pun terus berjalan, sambil menyelesaikan bangunan, umat merenungkan nama gerejanya. Setelah melalui pencarian yang panjang, Rama beserta umat memutuskan memberi nama gerejanya Kristus Raja. Perjuangan umat yang tetap gigih dalam kesulitan karena cintanya pada gereja dan suburnya daerah Ungaran pada waktu itu, merupakan latar belakang yang cukup dominan bagi pemilihan nama tersebut. Cita-cita umat Ungaran sesuai dengan panggilan dan perutusan dari Tuhan Yesus Kristus, ingin menjadi Gereja yang mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah tiada lain adalah suasana subur, syalom, damai sejahtera. Dan untuk itu semua dibutuhkan kegigihan berjuang atas dasar cinta pada panggilan dan perutusan Tuhan. Umat ingin mengikuti Yesus Kristus selurus-lurusnya. Hidup dan karya Yesus menjadi model hidup dan karya umat Ungaran. Maka sekali lagi mulai saat itu dan seterusnya gereja baru itu diberi nama Kristus Raja.
Kendati sudah mempunyai gereja sendiri, karena situasi yang sulit pada waktu itu, pelayanan Rama dari Paroki Ambarawa sangat terbatas. Perayaan Ekaristi di Stasi Ungaran dilaksanakan hanya pada Minggu Pertama dan Ketiga. Agar gereja tetap terawat dan selalu siap dipakai, perawatan gereja diserahkan kepada keluarga Mecrow Duran. Kendati demikian benih iman yang telah ditaburkan oleh Tuhan di Ungaran tidak pernah mati. Bahkan, Gereja Ungaran semakin bertumbuh dan berkembang. Semakin lama jumlah umat semakin bertambah. Status Gereja Kristus Raja Ungaran pun ditingkatkan menjadi Stasi. Sebagai stasi, Gereja Kristus Raja Ungaran dipercaya untuk mengelola buku baptis sendiri. Baptisan pertama yang tercatat di stasi Kristus Raja Ungaran adalah baptisan Rebecca Charmi, anak dari Resawidjaja dan Lasima oleh Rama Th. C. Verhoeven SJ pada tanggal 20 Agustus 1933. Selain itu, sejak adanya gereja tersebut Stasi Kristus Raja Ungaran dipercaya mendampingi anak stasi yaitu Gereja Girisonta. Kelak dalam perjalanan waktu, stasi Girisonta menjadi Paroki Girisonta.
Berdasarkan catatan yang ada, imam yang pernah bertugas di Stasi Kristus Raja Ungaran semenjak pembangunan gereja namun sebelum penjajahan Jepang adalah Rama Th. C. Verhoeven SJ, Rama P. Schmedding SJ, Rama J. Hellings SJ, Rama Th. Poespasoeparta SJ (1938), Rama A. Adikardjana SJ (1939), Rama Pollmann SJ dan Rama Ch. de Meneder SJ (1940). Rama-Rama inilah yang boleh dikatakan mengawali pelayanan iman di Ungaran. Rama-rama tersebut ada yang bertugas penuh tapi ada juga yang hanya melayani sebulan sekali.
Dari Stasi menjadi Paroki
Waktu pun berjalan namun kesulitan tidak pernah lepas dari umat Stasi Kristus Raja Ungaran, bahkan kadang kesulitan itu terasa tak tertanggungkan lagi. Sepuluh tahun kemudian Stasi Kristus Raja Ungaran menderita. Kurang lebih selama 7 tahun, dari tahun 1942 sampai dengan 1949, Stasi Kristus Raja Ungaran berada dalam keadaan bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Semenjak pendudukan Jepang sampai dengan clash II, umat Stasi Kristus Raja Ungaran terlantar. Lebih-lebih dari tahun 1945 sampai dengan 1949, pelayanan iman para Rama untuk Stasi Kristus Raja Ungaran sama sekali kosong. Banyak Rama Belanda dipenjara atau pulang ke negerinya karena alasan keamanan, dan beberapa meninggal dunia karena terbunuh.
Setelah situasi aman, mulai tahun 1949 dengan tekun para Rama mulai melayani kembali umat Stasi Kristus Raja Ungaran. Mereka adalah Rama Ignasius Haryadi Pr (1949), Rama L. Koersen SJ (1951), Rama C. Harsasoewito SJ (1952), Rama E. Djajaatmadja SJ (1954), Rama H. Haripranata SJ (1956). Kehadiran para gembala ini mengobarkan api semangat umat Stasi Kristus Raja Ungaran untuk kembali menjadi orang katolik yang tangguh. Umat mulai bangkit kembali mewartakan Kristus dengan tidak takut. Kebangkitan iman umat Katolik Ungaran ini ditandai dengan adanya baptisan massal pada tanggal 1 November 1956. Kurang lebih 100 umat dewasa dibaptis menjadi katolik.
Sejak tahun 1949 itu pula mulai dirintis pengurus gereja atau stasi. Pengurus ini bertugas memikirkan dan melaksanakan karya pastoral umat katolik di Ungaran. Salah satu keprihatinan pastoral yang dialami umat dan disadari oleh pengurus adalah terlantarnya pendidikan anak-anak pribumi. Atas dasar usulan umat dan pengurus gereja, dirintislah sekolah dasar bagi anak-anak pribumi. Pada tahun 1953 didirikan SD Kanisius Genuk. SD Kanisius sampai saat ini dengan tekun melayani pendidikan bagi masyarakat dari berbagai macam latar belakang. Pada tanggal 29 Juli 1953 disusul berdirinya SMP Kanisius Junggring Saloka dengan meminjam tempat di rumah Bapak Ngadilan. Dalam perjalanan waktu, mengingat jumlah murid yang semakin banyak, SMP dipindahkan ke belakang gereja dengan nama SMP Kanisius Suralaya. Namun dalam perjalanan waktu, SMP ini tidak mampu menghadapi tantangan zaman. Jumlah murid semakin merosot, dan akhirnya ditutup pada tanggal 29 Juni 1999. Pada tanggal 17 Juli 1995 pihak pengelola telah mendirikan SMK Kanisius sebagai penggantinya.
Setiap kali menelusuri jejak sejarah hidup dan perjuangannya, Gereja Kristus Raja Ungaran tidak dapat melupakan kehadiran Lembaga Hidup Bakti tingkat Keuskupan, yaitu Tarekat Suster-suster Abdi Kristus (AK). Semula tarekat ini bernama Abdi Dalem Sang Kristus (ADSK), namun dalam perjalanan waktu sesuai dengan tuntutan zaman nama tarekat diubah menjadi Abdi Kristus (AK). Terekat ini mondhok di Susteran OSF Ambarawa. Mengingat anggota dan karya semakin berkembang, tarekat memandang pentingnya memiliki rumah sendiri yang memadai. Pencarian lokasi pun dilaksanakan, dan ditemukan tanah yang strategis yaitu Ungaran. Pada tahun 1954, rumah mulai dibangun. Rumah yang dimaksud adalah biara yang sekarang ini terletak di Jl. Diponegoro. Tanggal 22 Juli 1955 biara Ungaran mulai ditempati. Para suster dan anak-anak yatim piatu pindah dari Ambarawa ke Ungaran. Dalam perjalanan waktu, Biara AK Ungaran ini berkembang pesat. Mereka mendirikan TK, SD, SMP, Rumah Bersalin, Panti Asuhan, Novisiat, dan Rumah Pimpinan Umum. Kehadiran tarekat ini amat dirasakan manfaatnya oleh umat maupun masyarakat Ungaran. Banyak umat Ungaran merasa bahagia, merasa dikembangkan imannya oleh pelayanan tarekat suster AK ini. Rumah di Ungaran menjadi berkat tidak hanya bagi umat Katolik namun juga untuk masyarakat yang lain. Paroki Kristus Raja dan Tarekat Abdi Kristus telah bekerja sama secara erat dalam pengembangan berbagai karya pastoral sebab keduanya mempunyai spiritualitas yang sama yaitu mengabdi pada Kristus, baik umat Paroki maupun para suster AK.
Karya-karya pendidikan baik yang dikelola Yayasan Kanisius maupun Santa Maria menjadi ujung tombak pewartaan kekatolikan. Melalui sekolah, banyak orang mengenal dan dengan kehendak sendiri menjadi katolik.
Seiring dengan adanya Rama yang mulai menetap di Ungaran pada tahun 1959, Gereja Kristus Raja Ungaran semakin mekar. Rama pertama yang menetap di Ungaran adalah Rama A. Spekle SJ. Pada tahun 1961 estafet penggembalaan umat Ungaran diserahkan dari Ordo Serikat Jesus kepada kongregasi Missionariorum a Sacra Familia (MSF). Ordo Serikat Jesus tidak lagi berkarya di Ungaran. Alasannya karena waktu itu kongregasi MSF membuka Novisiat di Ungaran. Novisiat bernama “Wisma Bethania” di Gowongan. Rama MSF pertama yang berkarya di Ungaran adalah Rama D. Adisoedjono MSF. Ungaran menjadi tempat terakhir Rama D. Adisoedjono karena beliau dipanggil Tuhan di Ungaran. Rama-Rama MSF lainnya yang pernah berkarya adalah Rama A. Van der Valk MSF, Rama Hendrawarsito MSF, Rama M.L. Schoots MSF.
Di bawah penggembalaan Rama-Rama MSF tersebut, GerejaKristus Raja Ungaran terus bertumbuh, berkembang, dan berbuah. Rama yang perlu disebut secara khusus yaitu Rama M.L. Schoots MSF. Jasa beliau bagi Stasi Kristus Raja Ungaran amat banyak. Bahkan dapat dikatakan jiwa dan raganya diabdikan kepada Stasi Kristus Raja Ungaran. Rama M.L. Schoots MSF berkarya tahun 1965-1974. Dalam tahun-tahun itu banyak peristiwa penting dapat dicatat. Pada tahun-tahun itu penambahan umat semakin besar. Tahun 1965 merupakan tonggak penting sejarah perkembangan Gereja Kristus Raja Ungaran karena pada tahun itu Stasi Kristus Raja Ungaran secara definitif ditetapkan menjadi Paroki Ungaran.
Memantapkan Paroki Muda
Dalam perjalanan hidup manusia, yang disebut usia muda adalah umur 12 sampai dengan 35 tahun. Analogi dengan pembagian usia itu, sekarang akan dideskripsikan pula gerak langkah Paroki Ungaran selama 35 tahun sejak kelahiran, dari tahun 1965-2000. Maka bagian ini diberi nama ‘Memantapkan Paroki Muda’.
Baptisan paling banyak terjadi pada tahun 1966-1968 sesudah G 30S PKI. Umat Katolik pada waktu itu tersebar di beberapa Wilayah, yaitu Pudak Payung, Gunung Pati, Nyatnyono, Candirejo, Lerep, Susukan, Bandarjo, Genuk, Keji, Sidomulyo, Kalirejo, Kalikayen, Leyangan, Kalongan, Beji, Gogik, Langensari, Gedanganak, dan Sitoyo. Namun ada juga Wilayah yang dulu terdapat banyak umat Katolik, sekarang tinggal sedikit karena pindah ke lain daerah atau juga ada yang pindah agama.
Rama M.L. Schoots MSF banyak berjasa dalam membina umat Ungaran. Pada zaman beliau, pengembangan keluarga dan kaderisasi mendapat perhatian yang cukup besar. Salah satu karya pastoralnya yang dikembangkan waktu itu adalah kunjungan keluarga. Untuk membangun paguyuban umat yang hidup, Paroki mengembangkan kaderisasi. Bahkan untuk kepentingan kaderisasi ini, pada tahun 1973 Paroki mendirikan Youth Center di dekat SMP Kanisius Suralaya. Kekhasan lain yang terjadi pada zaman Rama M.L. Schoots, MSF adalah penggembalaan berdasarkan proses. Paroki selalu mengembangkan umat tahap demi tahap dan selalu bertitik tolak pada kemampuan setempat. Mengingat usianya yang sudah lama, Paroki juga merehab gedung gereja dan pastoran sebagai prasarana pendukung karya pastoral.
Pada tahun 1974, Rama M.L. Schoots, MSF mengalami kecelakaan di depan gereja sampai koma. Dalam keadaan masih koma tersebut, ia dibawa ke negeri Belanda untuk berobat. Selama ditinggal Rama Paroki, hanya setiap hari Minggu Paroki mendapat bantuan imam dari Paroki Girisonta untuk Perayaan Ekaristi. Pada saat ini dapat dikatakan kehidupan beriman umat terlantar. Dua tahun kemudian ada berita bahwa ternyata Rama M.L. Schoots, MSF belum bisa kembali menggembalakan Paroki Ungaran. Beliau belum kunjung sembuh dari sakitnya.
Tahun 1976 Bapa Yustinus Cardinal Darmojoewono mengutus Rama Aloysius Hantara Pr (1976-1986) untuk bertugas di Paroki Ungaran. Kehidupan umat dibangkitkan oleh Rama Aloysius Hantara, Pr. Pada masa ini baru terjadi migrasi cukup besar di daerah Ungaran. Banyak orang dari luar daerah berpindah dan tinggal di Wilayah Ungaran. Perumahan-perumahan mulai dibangun seperti di Sebantengan, Kuncen Baru, Perumda Gedanganak dan sebagainya. Diantara pendatang itu ada yang sudah beragama katolik dan ada yang kemudian minta dipermandikan, sehingga jumlah umat terus meningkat.
Rama Aloysius Hantara, Pr berhasil membangkitkan kehangatan menggereja umat. Pada masa penggembalaannya, pengelolaan Dewan Paroki dan perhatian pada orang kecil mendapat prioritas. Pembagian Lingkungan (kring I s/d X) dan pembagian tugas pamong serta organisasi yang lain mulai diperjelas, sehingga keberadaan Lingkungan semakin terasa manfaatnya. Perhatian pada orang kecil terwujud nyata dalam beberapa kegiatan sosial. Kegiatan sosial tersebut antara lain bea siswa, donor darah, koperasi, gerakan sosial Serikat Sosial Santo Vincentius (SSV). Bidang pendidikan pun mendapat perhatian Paroki. Paroki mendirikan TK Vincentius Pudak Payung dan SMP Santa Maria. Dengan berkembangnya TK Vincentius, Paroki membeli tanah untuk pengembangan TK dan dilokasi tersebut didirikan Kapel Yakobus Zebedeus Pudak Payung untuk lebih melayani rohani umat. Dalam perkembangan berikutnya, dengan tumbuhnya perumahan-perumahan di Pudak Payung, jumlah umat semakin berkembang pesat. Kelompok-kelompok kategorial pada saat itu juga mulai tumbuh dan berkembang. Kelompok kategorial tersebut antara lain Legio Mariae, Woro Semedi, Serikat Sosial Santo Vincentius, Kelompok Karyawan Muda Katolik (KKMK), berkembang juga Mudika dan Wanita Katolik. Kerjasama dengan masyarakat pada masa ini juga dikembangkan. Kerjasama yang dirintis adalah membangun forum komunikasi antar umat beriman di Ungaran. Salah satu forum tersebut adalah Badan Kerjasama Antar Gereja (BKSAG).
Pada tahun 1986 Rama Aloysius Hantara, Pr diganti oleh Rama Vincentius Kartasudarma, Pr (1986-1989). Perhatian Rama Vincentius Kartasudarma, Pr banyak pada pembangunan fisik gereja dan melanjutkan karya yang sudah berjalan. Umat mendapat kesempatan untuk mengendapkan dan mengembangkan karya-karya pastoral yang sudah ditanamkan sebelumnya. Bersama dengan Rama Vincentius Kartasudarma, Pr, umat Paroki Ungaran mengadakan lagi renovasi gereja dan pastoran yang sangat mendukung kegiatan umat.
Pada tahun 1989 Rama Vincentius Kartasudarma, Pr digantikan oleh Rama Antonius Tri Wahyono, Pr (tahun 1989-1992). Rama Antonius Tri Wahyono, Pr sering dipandang sebagai rama yang ngetren, nyentrik, dan cocok dengan situasi umat Ungaran yang mayoritas generasi muda atau berjiwa muda. Pada zaman ini, Paroki mengadakan refleksi karya-karya pastoral yang pernah terjadi. Salah satu yang menjadi kebanggaan dan diteruskan adalah perhatian pada kaum muda seperti terjadi pada zaman Rama M.L. Schoots, MSF. Pada zaman Rama Antonius Tri Wahyono, Pr ini, Paroki amat memberi perhatian pada pendampingan generasi muda. Dalam pendewasaan kaum muda ini, dibentuklah Forum Komunikasi Siswa Katolik (FKSK). Dalam pendampingan anak pada masa ini, dimulai pemberian ‘komuni bathuk’. Pada zaman ini juga dilakukan pembenahan kinerja Dewan Paroki, penerbitan majalah Warta Ungaran (Warung), pendirian poliklinik “Marganing Waluyo”, dan kelompok doa karismatik.
Pada tahun 1992 Rama Antonius Tri Wahyono Pr digantikan oleh Rama Fransiskus Asisi Martana, Pr (1992-1994). Rama Fransiskus Asisi Martana, Pr membawa warna yang sangat lain bagi Paroki, khususnya dalam bidang liturgi. Beliau menginginkan umat tidak hanya berkembang dalam organisasi, tapi juga mampu menghayati nilai-nilai rohani. Maka nampak sekali pada zaman beliau, liturgi mendapat perhatian cukup besar. Pada masa ini, Paroki merehab panti imam dan altar dibuat lebih indah dan lebih luas. Untuk membangun inkulturasi, Paroki mengadakan misa dalam bahasa Jawa dan membeli seperangkat gamelan pelog serta slendro.
Pada tahun 1994 Rama Fransiskus Asisi Martana, Pr digantikan oleh Rama Aloysius Budyapranata, Pr (1994-2000). Bersama dengan Dewan Paroki waktu itu, Rama Aloysius Budyapranata, Pr mengambil prioritas bina iman dan pengembangan komunikasi yang sehat antar umat. Pada masa ini, berbagai pembinaan ditingkatkan. Pembinaan tersebut antara lain pembinaan PIA, persiapan komuni pertama, persiapan krisma, persiapan calon baptis, pembekalan guru agama, penataran pemandu Kitab Suci, pembekalan hidup keluarga (ME). Bidang Liturgi juga mendapat perhatian dengan mengajak umat untuk lebih menghayati perayaan Ekaristi sebagai sumber hidup. Untuk mendukung hal itu, maka kinerja petugas-petugas Liturgi ditingkatkan dan dibenahi meliputi putra altar, lektor, pemazmur, koor, prodiakon, dan sebagainya.
Membangun Paroki yang Zamani
Mulai tahun 2000 Rama Aloysius Budyapranata, Pr digantikan oleh Rama Stanislaus Kotska Suhartana, Pr (2000-2011). Rama Stanislaus Kotska Suhartana Pr berusaha meneruskan karya pastor-pastor Paroki yang telah mendahuluinya berkarya di Ungaran. Bagi beliau, pelayanan sakramental merupakan pelayanan mutlak. Selayaknya seorang imam yang bertugas di Paroki, tidak akan ada artinya apa-apa tanpa kebersamaan dengan umat. Dengan semangat kebersamaan dalam Dewan Paroki, Pengurus Lingkungan dan juga kelompok-kelompok kategorial, Rama Stanislaus Kotska Suhartana Pr membangun kebersamaan dalam hidup menggereja. Kebersamaan dengan umat inilah yang akan mewujudkan Gereja sebagai ”Pasamuan Suci” ditengah-tengah masyarakat (bdk. Kis 2:43-47 dan Kis 4:32). Semua umat tanpa kecuali mempunyai peran masing-masing sesuai dengan panggilannya. Semua bertanggungjawab dan tak seorangpun terasingkan, namun tetap dalam satu ’tubuh’ dengan Kristus sendiri sebagai kepalanya (bdk. 1Kor 12:12 dst).
Semangat dan jiwa kebersamaan inilah yang membangkitkan umat Ungaran untuk membangun ”rumah kedua”. Melihat bangunan fisik Gereja Kristus Raja Ungaran sudah sangat memprihatinkan sehingga hidup menggereja dan pelayanan ibadah tidak terdukung dengan baik dan tidak menampung jumlah umat karena pertambahannya yang cukup signifikan. Pada awal pembangunan diadakan pertemuan beberapa umat yang berkarya dibidang Arsitektur dan Sipil, Jasa Konstruksi dan Bangunan yang kemudian menelorkan beberapa design gedung Pastoran dan Gereja dan selanjutnya di ekspose kepada umat pada Pesta Nama th 2003. Pada perayaan Paskah tahun 2004 Rama Stanislaus Kotska Suhartana, Pr mengukuhkan Panitia Pembangunan. Setelah mempersiapkan rencana detail konstruksi dan bangunan maka pada tanggal 24 Nopember 2004 bertepatan dengan pesta nama pelindung Paroki, dimulailah pembangunan secara bertahap. Pembangunan tahap pertama difokuskan pada pembangunan gedung pastoran. Keberhasilan membangun gedung pastoran melipatgandakan semangat umat untuk mewujudkan rumah kedua, yaitu gedung gereja. Pembangunan gedung gereja ini disebut sebagai pembangunan tahap kedua. Akhirnya pembangunan gereja, yang dinilai sementara orang merupakan gereja yang megah, dan pula disebut oleh beberapa orang dengan nama baru ‘gereja gedhe” diberkati oleh Bapa Uskup Agung Semarang, Mgr. Ignatius Suharyo dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah, Drs. H. Ali Mufidz, MPA pada tanggal 24 Mei 2008. Pembangunan tahap ke tiga adalah pembangunan ruangan-ruangan serba guna dan menara. Diresmikan oleh Rama Stanislaus Kotska Suhartana,Pr pada tanggal 21 Nopember 2010.
Selain pembangunan fisik, pembangunan solidaritas kepada mereka yang kecil pada masa ini juga mendapat perhatian. Solidaritas ini diwujudkan dengan mengadakan Tabungan Cinta Kasih. Pada masa ini pula, jumlah umat meningkat. Pada tahun 1996 jumlah umat sebanyak 3.411 jiwa, 2003 jumlah umat sebanyak 4.424 jiwa. Rata-rata pertambahan umat per tahun 145 jiwa atau 4%.
Selama ini Rama yang ditugaskan untuk menggembalakan Paroki Ungaran hanya satu Rama. Mulai 1 Agustus 2006, Mgr. Ignatius Suharyo, Bapa Uskup Agung Semarang menugaskan Rama Laurentius Bondan Pujadi, Pr menjadi pastor pembantu di Paroki Ungaran. Mulai tanggal 15 Juli 2009 Rama Laurentius Bondan Pujadi, Pr digantikan oleh Rama Paulus Supriya, Pr yang sebelumnya selama 6 tahun menjadi formator bagi calon imam di Seminari Menengah Mertoyudan Magelang.
Dalam perjalanan waktu, pada bulan Agustus 2011 Rama Stanislaus Kotska Suhartana, Pr berpindah tugas dan Rama Paulus Supriya, Pr menggantikan menjadi Pastor Kepala, sedangkan Rama Johanes Conrad Heru Purnomo, Pr bertugas menjadi Pastor pembantu. Rama Paulus Supriya, Pr bersama Rama Johanes Conrad Heru Purnomo, Pr meletakkan tonggak baru untuk mengenal lebih dekat dengan umat, maka bersama pengurus Dewan Paroki Harian dan Timja Pendampingan Keluarga melaksanakan KKDP (Kunjungan Keluarga Dewan Paroki) yaitu berkunjung ke seluruh KK yang berada di Paroki Ungaran.
Pada tahun 2013 Rama Paulus Supriya, Pr berpindah tugas dan digantikan Rama Yakobus Sudarmadi Pr, maka KKDP dilanjutkan Rama Yakobus Sudarmadi, Pr. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 2016 Rama Johanes Conrad Heru Purnomo, Pr dipindah tugas dan diganti dengan Rama Aloysius Budi Purnomo, Pr yang juga ketua Komisi Hubungan Antar Agama (HAK) Keusukupan Agung Semarang.
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan penggembalaan maka Pada tahun 2018 Rama Yakobus Sudarmadi, Pr dipindah tugas dan digantikan oleh Rama HW. Natawaradaya Pr, yang sebelumnya adalah pastor dari Mabes TNI, tidak lama kemudian Rama AL. Budi Purnomo, Pr digantikan oleh Rama Suyamto Kirnosujito, Pr. Pada tahun 2019 Rama Suyamto Kirnosujito, Pr digantikan Rm. Antonius Juned Triatmo, Pr sebagai Vikaris Parokial.
Pelayanan pastoral teritorial dilaksanakan sejak tahun 1974 secara lebih intensif. Pada tahun itu pengelompokkan teritorial menggunakan nama Kring. Ada 10 Kring yaitu Kring I Mijen, II Gowongan, III Genuk, IV Sembungan, V Ngablak, VI Karanganyar, VII Kuncen, VIII Bandarjo, IX Suwakul/Tarubudaya, dan X Pudakpayung. Dalam perjalanan waktu, nama Kring diubah menjadi Lingkungan dan setiap Lingkungan mempunyai nama pelindung orang kudus. Di Pudakpayung terjadi perkembangan yang signifikan yaitu pada th. 2002 terdiri dari 3 Lingkungan, dan dengan tumbuhnya perumahan-perumahan di Pudakpayung maka dalam kurun waktu 10 tahun telah berkembang menjadi 9 Lingkungan. Sampai dengan awal tahun 2015, Paroki Ungaran berkembang menjadi 33 Lingkungan, yaitu Lingkungan Santo Thomas, Santo Mikael, Santo Lukas, Santo Ignatius, Santo Simon Zelot, Santo Fransiskus Asisi, Santo Petrus, Santo Paulus, Santo Matius, Santo Markus, Santo Stephanus, Santo Yohanes Rasul, Santo Yohanes Pemandi, Santo Yohanes de Britto, Santo Yohanes Paulus II, Santo Bartolomeus, Emmanuel, Santo Andreas, Santo Matias, Santo Fransiskus Xaverius, Santo Philipus, Santo Timotius, Santo Yakobus Alfeus, Santo Yusuf, Santa Maria Immacullata, Santa Maria Regina Pacis, Santa Maria Mediatrix, Santa Maria, Santo Bonaventura, Santo Barnabas, Santa Maria Fatima, Santa Sesilia dan Santa Stela Maris. Dari 33 Lingkungan per tanggal 1 Januari 2021 bertambah menjadi 40 Lingkungan; tambahan Lingkungan baru : Lingkungan Santa Teresa, Santa Corona, Santo Carolus, Santo Heribertus, Santo Gregorius Agung, Santo Athanasius. Lingkungan-Lingkungan dikelompokan kedalam 8 Wilayah. Wilayah I s/d 6 berada diWilayah Kabupaten Semarang dan Wilayah 7 dan 8 berada di Wilayah Kota Semarang.
Kekhasan Paroki Ungaran adalah terletak di ibu kota Kabupaten Semarang. Dipusat pemerintahan ini terdapat berbagai macam suku, budaya, dan agama. Hal ini semakin dipertajam dengan banyaknya perumahan dan pabrik yang dibangun di kawasan Ungaran. Banyak orang, khususnya kaum terpelajar, ber’migrasi’ ke Ungaran. Kehadiran mereka tidak hanya secara fisik, namun juga membawa berbagai macam latar belakang. Hal ini juga mendorong berkembangnya perekonomian. Kekhasan tersebut membutuhkan bentuk karya pastoral tersendiri yang bisa mengangkat Paroki Ungaran berpotensi menjadi sentral Gereja yang memasyarakat di Kabupaten Semarang. Namun demikian dengan perkembangan Wilayah administrasi pemerintahan yaitu pada tahun 1981 ada kebijakan pemekaran Wilayah Kota Semarang yang menjadikan beberapa kecamatan di Kabupaten Semarang yang masuk kedalam Wilayah Kota Semarang (Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Banyumanik) maka Wilayah Paroki Ungaran melayani sebagian umat di Wilayah Kota Semarang.
Beberapa bentuk karya pastoral yang sudah dilakukan dan akan terus ditingkatkan antara lain dialog dan kerja sama baik dengan pemerintah maupun tokoh-tokoh agama dan atau golongan, perhatian pada pewartaan agar iman umat semakin dewasa dan siap berinteraksi perlu mendapat perhatian, kelestarian Lingkungan hidup yang telah banyak mengalami kerusakan tidak bisa dipandang sepele, paguyuban umat yang terwujud dalam perilaku solider antara satu umat dengan umat yang lain perlu terus diperjuangkan entah dalam pengembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, maupun pendidikan.
Menjawab tantangan pastoral seperti itu, ke depan Paroki Ungaran kiranya perlu terus berbenah untuk menegaskan langkah. Pilihan karya pastoral yang dapat membantu Paroki Ungaran tetap mampu bergerak maju, merupakan pekerjaan rumah yang harus ditegaskan bersama.